SANGGAU, Kalimantan Barat — Kemarau panjang yang menyelimuti wilayah Kota Sanggau saat ini bukan hanya membuat tanah retak dan sungai mengering. Lebih dari itu, kondisi cuaca ekstrem dan surutnya permukaan air kini menjadi ancaman nyata bagi kesehatan masyarakat.
Bahkan, sebagian aliran Sungai Kapuas di Kota Sanggau kini memperlihatkan timbunan pasir yang muncul di tengah sungai akibat surutnya permukaan air. Pemandangan yang mungkin terlihat biasa saja, namun diam-diam menyimpan bahaya: dari penyakit kulit hingga wabah mematikan. Apa saja penyakit yang bisa mengintai? Bagaimana mencegahnya?
🌡️ Panas Terik dan Sungai yang Mengering: Kombinasi Mematikan
Ketika sumber air bersih menghilang dan suhu terus menanjak, tubuh manusia menjadi lebih rentan terhadap serangan penyakit. Berikut beberapa penyakit serius yang bisa muncul, disertai contoh kasus nyata dari berbagai belahan dunia.
1. Diare Akut dan Kolera – Pembunuh Senyap di Musim Kemarau
Ketika pasokan air bersih langka, masyarakat terpaksa menggunakan air sungai yang keruh untuk kebutuhan sehari-hari. Di sinilah bahaya diare dan kolera mengintai.
🔍 Kasus Dunia: Wabah kolera besar pernah terjadi di Haiti tahun 2010 setelah gempa bumi. Akibat sanitasi yang buruk dan air tercemar, lebih dari 800.000 orang terinfeksi dan 10.000 jiwa meninggal.

💡 Pencegahan:
-
Konsumsi air matang atau air kemasan.
-
Gunakan sabun setiap mencuci tangan dan peralatan makan.
2. Infeksi Kulit – Gatal Bukan Sekadar Gatal
Air dangkal yang kotor bisa menjadi tempat berkembang biaknya jamur dan bakteri. Mandi atau mencuci di sungai seperti ini bisa memicu infeksi kulit: kudis, jamur, hingga borok.
🔍 Kasus Nyata: Di daerah NTT, Indonesia, saat kemarau ekstrem tahun 2015, banyak warga mengalami penyakit kulit akibat terbatasnya akses air bersih dan mandi di kolam air keruh.
💡 Pencegahan:
-
Hindari mandi di sungai yang airnya kotor.
-
Gunakan air bersih dan sabun antiseptik.
3. ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) – Serangan dari Udara Kering dan Berdebu
Panas ekstrem dan debu dari dasar sungai yang mengering bisa mengiritasi saluran pernapasan, terutama pada anak-anak dan lansia. Gejalanya: batuk, sesak, pilek berkepanjangan.
🔍 Contoh Dunia: Selama musim kemarau di India, peningkatan 30% kasus ISPA tercatat di wilayah pedesaan akibat polusi debu dan kekeringan.
💡 Pencegahan:
-
Gunakan masker saat beraktivitas di luar.
-
Perbanyak konsumsi air dan ventilasi udara di rumah.
4. Dehidrasi dan Heat Stroke – Bahaya yang Tak Terlihat
Saat suhu terus naik, tubuh kehilangan cairan lebih cepat dari biasanya. Jika tidak segera diganti, bisa terjadi dehidrasi parah dan bahkan heat stroke—kondisi darurat medis yang bisa mematikan.
🔍 Kasus Nyata: Di Jepang, saat gelombang panas ekstrem tahun 2018, lebih dari 90 orang meninggal karena heat stroke dalam seminggu.
💡 Pencegahan:
-
Minum air 8–10 gelas per hari, walau tidak merasa haus.
-
Hindari aktivitas berat saat siang hari.
5. Leptospirosis – Bahaya dari Genangan Air
Ketika air sungai mengering, genangan air kecil sisa aliran bisa menjadi tempat hidup bakteri Leptospira. Bakteri ini berasal dari urine tikus dan bisa masuk ke tubuh manusia melalui kulit yang terluka.
🔍 Wabah Nyata: Filipina mengalami lonjakan kasus leptospirosis setelah banjir di musim kering tahun 2012. Lebih dari 3.000 kasus tercatat dalam waktu singkat.
💡 Pencegahan:
-
Hindari berjalan tanpa alas kaki di genangan air.
-
Gunakan sarung tangan saat membersihkan area lembap.
🚨 Lalu, Apa yang Bisa Kita Lakukan Sekarang?
Berikut beberapa langkah sederhana namun penting untuk menghindari dampak kesehatan akibat kemarau dan panas ekstrem:
✅ Gunakan air bersih untuk semua keperluan pribadi. Bila perlu, rebus air sungai minimal 10 menit sebelum digunakan.
✅ Cegah kontak langsung dengan air sungai yang tercemar.
✅ Gunakan masker dan hindari paparan langsung debu dan panas matahari.
✅ Lapor ke petugas kesehatan bila muncul gejala seperti demam, muntah, diare, atau ruam kulit.
Saatnya Bergerak Bersama
Fenomena kemarau panjang di Kota Sanggau bukan hanya tantangan alam, tetapi juga panggilan bagi semua pihak untuk siaga dan tanggap. Pemerintah daerah, tenaga kesehatan, dan masyarakat harus saling bekerja sama. Karena menjaga kesehatan bukan hanya soal medis, tetapi juga tentang bagaimana kita merespons perubahan lingkungan.