Jakarta, 12 Agustus 2025 — Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Nusron Wahid, secara resmi menyampaikan permintaan maaf atas pernyataannya yang menjadi viral terkait penertiban tanah terlantar dan pernyataan yang disalahpahami publik sebagai “semua tanah milik negara”. Nusron mengaku bagian dari ucapannya bermaksud sebagai guyonan, namun ia menyadari candaan itu tidak tepat disampaikan oleh pejabat publik.
Dalam konferensi pers di kantornya, Nusron mengatakan dia menyesal karena pernyataannya menimbulkan polemik dan kesalahpahaman di masyarakat. Ia menegaskan bahwa maksud kebijakan penertiban adalah menata lahan berstatus HGU/HGB yang benar-benar tidak dimanfaatkan — bukan mengambil alih tanah warga, sawah, atau tanah waris milik masyarakat. Nusron berjanji akan lebih berhati-hati dalam memilih kata dan penyampaian kebijakan ke depan.
Dari mana kontroversi bermula?
Polemik berawal dari pernyataan Nusron saat menjadi pembicara pada acara Ilmu dan Layanan Aspek Pertanahan/ILASPP di Jakarta awal Agustus, yang kemudian beredar luas di media sosial. Dalam cuplikan yang viral, ia mengkritik klaim tanah telantar dengan nada yang, menurut banyak pihak, terkesan meremehkan klaim warisan dan hak ulayat masyarakat—kalimat yang lantas memicu kemarahan publik dan sorotan media.
Reaksi publik dan politisi
Pernyataan itu memicu gelombang protes di ruang publik dan komentar keras dari sejumlah pihak. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta agar Nusron fokus pada penertiban mafia tanah dan urusan teknis penataan agraria, bukan membuat pernyataan yang dapat memperkeruh situasi. Beberapa anggota legislatif menilai klarifikasi dan permintaan maaf Nusron diperlukan, namun mereka juga menuntut langkah konkret untuk menjamin perlindungan atas hak kepemilikan rakyat.
Organisasi masyarakat adat dan pegiat agraria menyatakan kewaspadaan: meski Nusron menjelaskan bahwa guyonan itu tidak dimaksudkan untuk menyasar tanah rakyat yang bersertifikat atau hak waris, mereka menegaskan pentingnya kejelasan kebijakan agar tak menimbulkan ketakutan atau konflik horizontal di lapangan.
Penjelasan teknis dari kementerian
Kementerian ATR/BPN menegaskan kembali bahwa upaya penertiban difokuskan pada lahan berstatus izin (HGU, HGB) yang terbukti mangkrak dan tidak produktif—dengan tujuan produktivitas ekonomi dan ketertiban administrasi agraria. Kementerian juga menyatakan akan memperkuat sosialisasi serta mekanisme verifikasi agar proses penataan tidak merugikan pemilik sah.

Pernyataan pejabat publik soal isu sensitif seperti agraria cepat menimbulkan reaksi — karena tanah terkait identitas, mata pencaharian, dan warisan keluarga. Seorang pejabat setingkat menteri diharapkan memiliki kehati-hatian bahasa yang tinggi; candaan yang direkam dan diedarkan publik dapat menimbulkan keresahan luas meski niat aslinya bukan demikian. Klarifikasi Nusron mengakhiri satu bab polemik verbal, tetapi menimbulkan seruan agar langkah kebijakan disertai dialog dan perlindungan hukum bagi masyarakat.
Permintaan maaf Nusron Wahid meredakan sebagian kontroversi verbal, namun isu inti soal penertiban tanah terlantar dan kepastian hak atas tanah tetap menuntut kerja serius dari pemerintah. Publik kini menunggu tindakan konkret: komunikasi kebijakan yang jelas, proses verifikasi yang transparan, dan perlindungan hak kepemilikan rakyat agar kejadian serupa tidak terulang.
Sumber: CNN Indonesia, Detik, Kumparan, MetroTV, Kompas, IDN Times.