Jakarta, 31 Agustus 2025 — Ribuan warga, aktivis antikorupsi, dan mahasiswa menggalang tekanan politik besar-besaran setelah konferensi pers Istana pada Minggu (31/8/2025). Tuntutan yang paling gamblang: percepat pengesahan RUU Perampasan Aset Koruptor, dan lakukan reshuffle kabinet serta evaluasi anggota legislatif yang dinilai tidak kompeten atau terafiliasi kepentingan elit. Desakan ini tersebar cepat melalui media sosial dan mendapat liputan luas media nasional.
Inti tuntutan publik
Para pengunjuk rasa dan kampanye daring menuntut tiga hal utama:
-
Segera sahkan RUU Perampasan Aset, agar aset hasil korupsi dapat disita dan dikembalikan ke negara;
-
Ganti menteri dan anggota dewan yang tidak kompeten — khususnya pejabat yang dianggap lamban merespons krisis ekonomi dan sosial;
-
Jaminan transparansi dan pengawasan atas janji-janji istana pasca-kerusuhan, termasuk mekanisme pengawasan independen terhadap proses reformasi.
Sebagian tuntutan disuarakan langsung di depan Istana dan Balai Kota oleh aktivis, mahasiswa, serta perwakilan komunitas profesi. Di berbagai platform, tagar seperti #PerampasanAsetSekarang dan #GantiMenteri mendominasi percakapan dan menjadi trending di X/Instagram. (lihat dokumentasi unggahan dan live dari kanal berita).
Reaksi lembaga & penjelasan teknis RUU
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara terbuka mendukung percepatan RUU Perampasan Aset. Ketua KPK menilai RUU itu merupakan “langkah revolusioner” untuk memulihkan kerugian negara akibat kejahatan korupsi dan tindak pidana lain; KPK mendorong agar RUU segera masuk prioritas pembahasan DPR.
Beberapa ahli hukum mengusulkan mekanisme sementara — mis. mekanisme DPA atau regulasi sementara — bila pembahasan RUU tak kunjung rampung, agar negara tak terus kehilangan aset. Namun solusi teknis ini membutuhkan kajian legislatif yang cepat dan pengawalan publik.
Istana: janji percepatan dan evaluasi pejabat
Dalam konferensi pers pada 31 Agustus, perwakilan Istana menyatakan Presiden Prabowo Subianto mendukung percepatan pembahasan RUU Perampasan Aset serta berjanji mengawal proses investigasi atas peristiwa kerusuhan beberapa hari terakhir. Istana juga menyampaikan akan melakukan evaluasi terhadap sejumlah kebijakan dan pejabat yang menuai kritik publik. Pernyataan lengkap direkam dalam siaran KompasTV dan rilis resmi Istana.

Catatan: pemerintah sempat menunda sejumlah agenda (termasuk rapat koordinasi nasional) karena situasi unjuk rasa yang memuncak — sebuah sinyal bahwa tekanan publik memang mempengaruhi dinamika kebijakan.
Suara masyarakat — dari jalan ke timeline
Sorotan publik datang dari berbagai kalangan: aktivis antikorupsi, serikat pekerja, komunitas mahasiswa, sampai diaspora. Bukti di lapangan dan daring memperlihatkan: aksi damai di depan Istana, petisi daring yang cepat mengumpulkan ratusan ribu tanda tangan, serta ratusan unggahan yang mengkritik para wakil rakyat. Banyak unggahan menampilkan bukti-bukti aset mewah terafiliasi kasus korupsi—sebagai ilustrasi mengapa undang-undang perampasan aset dianggap perlu.
Beberapa akun media sosial dan kanal YouTube independen menayangkan wawancara singkat dengan warga — yang rata-rata meminta “tindakan tegas” dan bukan sekadar janji politik. Sebagian besar netizen menilai pergantian menteri dan evaluasi anggota dewan sebagai langkah simbolis namun perlu untuk mengembalikan kepercayaan publik.
Catatan soal hoaks dan verifikasi
Di tengah gelombang tuntutan, muncul pula klaim-klaim yang keliru terkait pengesahan RUU dan pernyataan tokoh tertentu. Kominfo & Komdigi telah merilis klarifikasi atas beberapa video yang mengklaim DPR telah mengesahkan RUU Perampasan Aset—klaim tersebut dinyatakan hoaks. Media dan publik diingatkan untuk memverifikasi informasi lewat sumber resmi DPR, KPK, dan rilis Istana.
Risiko & jalan ke depan
Para pengamat hukum dan politik menilai pengesahan RUU Perampasan Aset akan memperkuat instrumen negara menghadapi pelarian aset koruptor, namun prosesnya harus dirancang hati-hati agar sesuai dengan prinsip due process dan tidak menimbulkan masalah hukum baru. Di sisi politik, reshuffle dan evaluasi pejabat harus diterjemahkan ke dalam kebijakan konkret — bukan sekadar pergantian figur — agar publik kembali percaya.
KPK, Istana, dan DPR perlu menegaskan jadwal kerja dan keterbukaan proses pembahasan untuk meredam ketegangan. Publik menuntut lebih dari janji: mereka menginginkan tindakan nyata, transparansi, dan mekanisme pengawasan independen yang bisa memastikan aset hasil korupsi benar-benar kembali ke rakyat.