Senin, 1 September 2025 — Polemik terbaru mencuat di tengah gelombang demonstrasi yang belum reda. Sejumlah anggota dewan yang dinonaktifkan sementara akibat kerusuhan politik, aksi unjuk rasa, dan dugaan keterlibatan dalam kasus penyalahgunaan kewenangan, ternyata tetap berhak menerima gaji pokok dari parlemen.
Informasi ini dikonfirmasi oleh beberapa sumber media nasional seperti Kompas, Tempo, dan CNN Indonesia yang merujuk pada UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), serta tata tertib DPR. Berdasarkan aturan tersebut, anggota dewan yang nonaktif sementara tetap memperoleh hak-hak keuangan, kecuali jika status mereka berubah menjadi pemberhentian tetap atau terbukti secara hukum dengan putusan inkrah.
Respon Masyarakat di Media Sosial
Kabar ini segera memicu gelombang kritik dari masyarakat di berbagai platform digital. Pantauan dari X (Twitter), Instagram, Facebook, hingga YouTube menunjukkan tagar seperti:
-
#StopGajiDewan
-
#RakyatMiskinDewanMewah
-
#UUHarusDiubah
Tagar-tagar ini menduduki trending topik, dengan ribuan unggahan berisi kecaman terhadap “privilege” politikus.
Banyak warganet membandingkan kondisi rakyat kecil yang kehilangan pekerjaan atau hanya menerima bantuan seadanya, sementara pejabat yang dinonaktifkan justru tetap digaji penuh. Di Instagram, beberapa akun komunitas mahasiswa membagikan poster bertuliskan: “Dewan Libur, Gaji Lancar. Rakyat Kerja, Upah Seret.”
Aksi dan Kritik dari Berbagai Daerah
Tidak hanya di media sosial, aksi nyata juga terlihat di berbagai kota besar:

-
Jakarta: Mahasiswa dari beberapa universitas menggelar aksi di depan kompleks parlemen, menuntut revisi UU MD3.
-
Yogyakarta: Aktivis menggelar diskusi publik bertajuk “Etika Jabatan Publik vs Keadilan Sosial”.
-
Pontianak (berdasarkan laporan media lokal, Tribun Pontianak): Massa menggelar long march dengan membawa spanduk besar bertuliskan “Berhenti Bayar Pejabat Pemalas”.
-
Makassar, Surabaya, Medan, dan Bandung juga dilaporkan muncul aksi solidaritas serupa.
Pandangan Akademisi & Pakar Hukum
Sejumlah pakar tata negara menilai bahwa meskipun ada dasar hukum yang jelas, kebijakan ini menimbulkan krisis kepercayaan publik.
-
Seorang akademisi hukum dari Universitas Indonesia menyebutnya sebagai “kegagalan moral dalam regulasi.”
-
Pakar dari UGM menegaskan perlunya segera merevisi aturan agar pejabat publik yang bermasalah tidak terus membebani anggaran negara.
Tanggapan Pemerintah & Istana
Sumber dari beberapa media mengabarkan bahwa Istana tengah menyiapkan evaluasi terkait mekanisme pemberian gaji anggota dewan yang dinonaktifkan. Menteri keuangan juga disebut akan melakukan kajian ulang, meski belum ada keputusan resmi yang diumumkan.
Kasus ini menambah daftar panjang ketidakpuasan publik terhadap kinerja pejabat negara. Di satu sisi, hukum memang menjamin hak finansial anggota dewan yang belum diberhentikan tetap. Namun di sisi lain, masyarakat menilai kebijakan ini tidak adil, terutama di tengah kondisi ekonomi yang menekan kehidupan rakyat kecil.
Gelombang kritik terus bergulir, baik di jalanan maupun di ruang digital. Publik kini menunggu apakah pemerintah dan parlemen berani merevisi regulasi tersebut, ataukah isu ini hanya akan menjadi satu lagi contoh ketimpangan yang dibiarkan begitu saja.