Minggu, 31 Agustus 2025 — Pembatasan fitur siaran langsung di platform media sosial sekaligus serangkaian serangan terhadap jurnalis yang meliput unjuk rasa 30 Agustus 2025 memicu kecaman luas dari organisasi pers dan pengamat hak asasi. Sementara beberapa platform menutup atau membatasi layanan live streaming di Indonesia, wartawan di lapangan melaporkan pemukulan, perampasan alat kerja, dan tekanan dari aparat — memperdalam kekhawatiran soal kebebasan berekspresi dan keselamatan pers.
Pembatasan siaran langsung: platform dan klaim pemerintah
Beberapa platform besar mengambil langkah membatasi fitur siaran langsung di Indonesia pada puncak kerusuhan. ByteDance menyatakan telah menangguhkan fitur TikTok LIVE untuk pengguna di Indonesia selama beberapa hari sebagai langkah pencegahan karena meningkatnya kekerasan dalam protes. Langkah ini memicu pro dan kontra: sebagian pihak menyambut upaya meredam penyebaran konten provokatif, sementara aktivis dan jurnalis menyebutnya sebagai bentuk sensor yang menghambat transparansi.
Pemerintah, melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Komdigi), menyatakan tidak memerintahkan TikTok menghentikan fitur live streaming—menurut rilis kementerian, pembatasan berasal dari kebijakan internal platform yang mengambil langkah pencegahan di tengah naiknya konten kekerasan. Namun Jakarta juga sempat memanggil perwakilan platform untuk meminta peningkatan moderasi konten dan pencegahan disinformasi. Pernyataan ini tercatat dalam surat dan konferensi pers terbaru.
Di lapangan, aparat kepolisian sebelumnya mengimbau agar massa “tidak melakukan live streaming” saat aksi berlangsung, dengan alasan mengurangi potensi eskalasi yang dipicu penyebaran langsung gambar dan instruksi di lapangan. Kritikus menilai imbauan ini berbahaya karena bisa dimaknai sebagai upaya mengekang dokumentasi publik terhadap tindakan aparat.
Kekerasan terhadap jurnalis: laporan organisasi pers
Kelompok advokasi pers internasional dan lokal mendokumentasikan sejumlah serangan terhadap wartawan selama rentetan aksi. Reporters Without Borders (RSF) mengecam insiden pemukulan dan perusakan peralatan yang menimpa beberapa jurnalis saat meliput protes, menuntut penyelidikan dan akuntabilitas cepat. Organisasi lain seperti IFJ dan CPJ juga melaporkan insiden serupa dan menyerukan perlindungan bagi pekerja media.
Di dalam negeri, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan tim bantuan hukum pers melaporkan beberapa kasus pemukulan atau perampasan kamera yang menimpa pewarta foto dan videografer saat berusaha merekam bentrokan. Satu kasus yang menjadi sorotan adalah tuduhan pemukulan terhadap fotografer yang meliput demo sebelumnya — AJI bersama lembaga hukum menuntut klarifikasi dan proses hukum terhadap oknum aparat yang diduga melakukan kekerasan.

Peran media sosial: dokumentasi yang ‘dibungkam’ dan bukti yang hilang
Siaran langsung dan unggahan dari YouTube, Instagram, Facebook dan X telah menjadi sumber utama dokumentasi peristiwa di lapangan — dari momen-momen bentrokan hingga dugaan tindakan berlebihan aparat. Namun ketika platform membatasi siaran langsung atau ketika unggahan dihapus karena dianggap melanggar pedoman (mis. konten kekerasan atau koordinasi massa), bukti-bukti awal yang penting bisa lenyap atau sulit diverifikasi. Hal ini memicu kekhawatiran di kalangan jurnalis dan LSM bahwa pembatasan platform dapat melemahkan akuntabilitas publik.
Beberapa unggahan viral yang sebelumnya menampilkan tindakan aparat terhadap peserta unjuk rasa dilaporkan hilang atau diberi label “removed”; redaksi berita menyarankan pembaca menyimpan bukti dan memeriksa metadata untuk verifikasi. Di sisi lain, platform menyatakan akan mempertahankan kebijakan penghapusan konten yang memuat kekerasan eksplisit atau koordinasi tindakan ilegal.
Dampak politik dan tuntutan transparansi
Respons internasional cepat muncul: organisasi hak asasi dan beberapa kantor berita asing meminta investigasi independen atas laporan kekerasan terhadap warga dan jurnalis. Tekanan juga datang dari komunitas diaspora yang mengorganisir solidaritas daring—mendukung kebebasan pers dan menuntut akuntabilitas negara. Pengamat media menekankan dua tuntutan mendesak: (1) jaminan perlindungan bagi jurnalis yang bertugas meliput protes; dan (2) transparansi atau audit dari platform digital terkait praktik penghapusan/membatasi konten selama krisis.