Senin, 22 September 2025 – Hutan Kalimantan—rumah orang-utan, penutup tanah, dan ‘penyimpan air’ pulau besar Borneo—sedang menyusut. Hilangnya hutan bukan sekadar statistik: ia merusak sumber air, mengubah iklim lokal, menggerus mata pencaharian masyarakat adat dan petani, serta meningkatkan risiko kebakaran dan banjir. Data satelit dan laporan lembaga lingkungan menunjukkan tren deforestasi yang berkelanjutan: baik pembukaan lahan untuk perkebunan, penebangan, tambang dan pembakaran—semua memberi dampak langsung bagi kehidupan manusia sekarang dan generasi mendatang.
Apa itu hutan — dan manfaatnya bagi manusia
Hutan tropis adalah sistem kompleks pohon, tanah, satwa, dan mikroorganisme yang memberi manfaat langsung dan tak langsung:
-
Penyedia layanan air: hutan menyimpan dan melepaskan air sehingga menjaga aliran sungai musim demi musim.
-
Pengatur iklim lokal & global: pohon menyerap CO₂, menurunkan suhu lokal, dan menjaga siklus hujan.
-
Penopang kehidupan ekonomi: bahan bakar, obat tradisional, buah-buahan, serta sumber pendapatan lewat ekowisata dan perikanan.
-
Keanekaragaman hayati: Kalimantan menyimpan spesies endemik (orang-utan, bekantan, banyak burung dan amfibi) yang tak tergantikan.
Hilangnya hutan berarti hilangnya fungsi-fungsi ini sehingga berimbas langsung ke kesehatan, mata pencaharian, dan ketahanan pangan masyarakat.
Berapa banyak hutan yang hilang di Kalimantan dalam 10 tahun terakhir? (2015–2024)
Mengukur “penyusutan luas hutan” bergantung pada definisi (forest cover vs. primary forest vs. kebun monokultur) dan sumber data. Sumber penginderaan jauh terkemuka seperti Global Forest Watch (GFW) menyediakan angka tree-cover loss per provinsi (2001–2024): misalnya Kalimantan Barat tercatat ~4,21 juta ha tree cover loss (2001–2024), Kalimantan Tengah ~3,86 juta ha, Kalimantan Timur ~3,0 juta ha (angka kumulatif sejak 2001). Jika melihat tren tahun-terakhir, setiap provinsi terus mencatat kehilangan ratusan ribu hektar selama dua dekade terakhir—dengan fluktuasi tahunan yang dipicu pembukaan lahan, kebakaran, dan proyek ekstraktif.
Mengapa kehilangan hutan di Kalimantan penting — efek langsung & tak langsung
-
Biodiversity collapse: kehilangan habitat memicu penurunan populasi spesies endemik dan fragmentasi habitat.
-
Kebakaran dan asap: deforestasi + pengeringan lahan gambut menaikkan risiko kebakaran skala besar—mengancam kesehatan publik (asap), ekonomi, dan merilis CO₂ besar.
-
Perubahan hidrologi: aliran sungai menjadi tak menentu—banjir dahsyat di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau—mengganggu pertanian dan pasokan air
-
Dampak iklim: pelepasan karbon dari pembukaan lahan dan kebakaran mempercepat pemanasan lokal/region, memperburuk iklim ekstrim.
-
Sosial-ekonomi: hilangnya mata pencaharian masyarakat adat, konflik lahan, dan migrasi ke kota.
Prediksi 100 tahun ke depan (2125) jika tren penyusutan terus berlanjut
Berdasarkan proyeksi ilmiah (IPCC, WWF) dan model lanskap:
-
Skenario “business-as-usual”: semakin sedikit hutan primer; curah hujan musim akan berubah; risiko kebakaran meningkat; banyak ekosistem rendah akan lenyap. Dampak nyata: produktivitas pertanian turun di dataran rendah, banjir dan erosi meningkat, serta layanan air terganggu—menyebabkan krisis pangan lokal dan biaya rekonstruksi infrastruktur tinggi.
-
Kesehatan & demografi: lebih banyak penyakit pernapasan akibat asap, penurunan kualitas air → peningkatan penyakit menular; komunitas adat kehilangan sumber budaya dan ekonomi, mendorong urbanisasi paksa.
-
Ekonomi & iklim global: pelepasan karbon dari deforestasi memperburuk situasi iklim global; Kalimantan bisa menjadi sumber emisi jangka panjang—mengurangi efektivitas mitigasi nasional dan internasional.
Sumber & bukti utama
-
Global Forest Watch (GFW) — data tree cover loss per provinsi Kalimantan (2001–2024).
-
Mongabay & peliputan investigatif — laporan lapangan dan analisis tren 2023–2025.
-
WWF (Borneo reports) — proyeksi dampak iklim & skenario konservasi untuk Borneo.
-
IPCC AR6 & Cross-Chapter Papers — dampak iklim pada hutan tropis dan layanan ekosistem.
-
CIFOR (CIFOR/ICRAF) — riset tentang penggunaan lahan, REDD+, dan dampak sosial ekonomi di Kalimantan.