Minggu, 28 September 2025 – Desakan internasional untuk menghapus atau mereformasi hak veto di Dewan Keamanan PBB mendapat momentum baru — dari seruan kepala negara di Sidang Umum PBB hingga dukungan terbuka Sekretaris-Jenderal. Namun menghapus veto berarti mengubah Piagam PBB, langkah yang secara politik dan hukum sangat berat. Artikel ini mengurai siapa yang menuntut perubahan, apa yang diminta, hambatan hukum-politiknya, dan skenario reformasi yang realistis.
Dalam Sidang Umum PBB 2025 sejumlah pemimpin negara menyuarakan kebutuhan mereformasi Dewan Keamanan agar mencerminkan tatanan global masa kini, bukan struktur 1945. Presiden Finlandia Alexander Stubb secara eksplisit menyerukan penghapusan hak veto; pejabat lain di forum sama dan pernyataan pemerintah dari beberapa negara kecil juga bergabung mendesak perubahan karena veto sering menghalangi aksi kolektif terhadap krisis kemanusiaan. Sekretaris-Jenderal Antonio Guterres sendiri mendukung reformasi agar Dewan mewakili “dunia 2025, bukan 1945”.
Mengapa sekarang? Konflik-konflik besar — dan penggunaan veto yang kerap menghalangi resolusi terkait hak asasi dan perlindungan sipil — membuat kredibilitas Dewan dipertanyakan. Banyak negara menilai bahwa satu negara permanen dapat menggagalkan konsensus internasional, sehingga menimbulkan tekanan politik yang meningkat untuk perubahan struktur pengambilan keputusan.
Sejak 1946 hingga kini veto telah digunakan ratusan kali oleh lima anggota tetap (P5). Perhitungan publik mencatat jumlah veto historis—mis. Rusia (Soviet/RS) ~129 kali, Amerika Serikat ~89 kali, Inggris ~29, China ~19, dan Prancis ~16—yang menunjukkan pola penggunaan untuk melindungi kepentingan nasional. Kasus-kasus besar seperti konflik dan pengakuan negara sering terkunci oleh veto, memicu kebuntuan politik di panggung internasional.
Dampak praktisnya nyata: ketika Dewan terbelah, Majelis Umum atau mekanisme “Uniting for Peace” bisa dipanggil namun keputusan Majelis bukanlah mengikat seperti resolusi Dewan — sehingga respons internasional menjadi lebih lemah atau lamban.
Secara teknis, hak veto diatur Piagam PBB dan hanya bisa diubah melalui amandemen Piagam. Prosedurnya: rancangan amandemen harus disetujui dua-pertiga Majelis Umum dan kemudian diratifikasi oleh dua-pertiga negara anggota termasuk kelima anggota tetap — artinya P5 harus menyetujui perubahan yang menghapus hak mereka sendiri. Itu membuat penghapusan penuh sangat tidak mungkin tanpa konsesi besar.

Karena fakta itu, gerakan reformis sering mengusulkan solusi alternatif yang lebih realistis:
-
Deklarasi politik atau “code of conduct” di mana P5 berjanji untuk menahan diri menggunakan veto dalam kasus-kasus genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan (ada contoh politik: Deklarasi 2015 soal pembatasan veto dalam kasus-kasus kekejaman massal).
-
Pembatasan administratif seperti prosedur suara yang mengurangi ruang veto pada isu-isu tertentu, atau penggantian veto absolut dengan mekanisme pembekuan sementara.
-
Perluasan Dewan dengan lebih banyak anggota tetap tanpa hak veto, atau dengan hak ‘veto terbatas’ yang lebih sulit dipakai.
Siapa mendukung — dan siapa menolak?
Pendukung reformasi datang dari negara-negara anggota mayoritas (negara berkembang, gerakan “Uniting for Consensus”) dan beberapa negara Eropa yang ingin Dewan lebih representatif. Beberapa pemimpin negara kecil dan menengah menyerukan penghapusan veto sebagai isu keadilan global. Contohnya, pernyataan publik dari beberapa kepala negara di UNGA 2025 menyorot kebutuhan reformasi.
Penolakan datang terutama dari lima anggota tetap sendiri—mereka melihat veto sebagai penjamin keamanan nasional dan keseimbangan global pasca-Perang Dunia II. Bahkan jika beberapa P5 setuju atas pembatasan, kemungkinan besar mereka menginginkan mekanisme yang menjaga kewenangan strategis mereka.
opsi reformasi yang bisa diterima
-
Perjanjian Sukarela (Code of Conduct): Perjanjian politik di mana P5 menahan diri dari veto untuk resolusi yang menangani genosida, pembersihan etnis, atau kejahatan terhadap kemanusiaan — format ini sudah ada secara parsial dan bisa diperluas.
-
‘Qualified Veto’ atau veto bersyarat: Ubah syarat penggunaan veto sehingga butuh lebih dari satu pemegang veto atau harus dilandasi bukti tertentu sebelum berlaku.
-
Mekanisme ‘Bypass’ yang diperkuat: Kuatkan peran Majelis Umum (Uniting for Peace) agar dapat mengeluarkan rekomendasi yang lebih efektif ketika Dewan buntu.
-
Perluasan Dewan tanpa veto untuk anggota baru: Menambah kursi tetap untuk negara-negara besar seperti India, Brazil, Jepang, tanpa memberi hak veto baru.
Setiap opsi memerlukan negosiasi panjang, dan beberapa memerlukan perubahan Piagam; oleh karena itu kombinasi pendekatan—deklarasi politik + reformasi prosedural—mungkin paling praktis dalam jangka menengah.
Gerakan-gerakan masyarakat sipil, LSM hak asasi, dan akademisi mendorong tindakan cepat, menuduh veto menjadi alat impunitas pada sejumlah kasus kemanusiaan. Dukungan publik di berbagai negara bertambah, terutama setelah ketidakmampuan Dewan bertindak pada konflik berdarah terbaru — tekanan ini memberi legitimasi politik bagi pembicaraan reformasi di PBB. Namun transformasi struktural tetap menuntut konsensus internasional yang sulit.
Twitter/X (280):
“Desakan hapus hak veto PBB makin keras di UNGA 2025 — Guterres dukung reformasi, tapi penghapusan penuh butuh amandemen Piagam & persetujuan P5. Jalan tengah: pembatasan sukarela + reformasi prosedur. Baca selengkapnya.”
Instagram caption (panjang):
“Veto PBB menjadi magnet pro dan kontra di Sidang Umum 2025. Negara kecil minta hapus, P5 waspada. Realitanya? Solusi paling mungkin: kesepakatan sukarela, pembatasan penggunaan veto untuk genosida, dan reformasi representasi. #UNReform #Veto #UNGA2025”