Selasa, 2 September 2025 – Human Rights Watch (HRW) mengecam keras langkah pemerintah Indonesia yang memperlakukan gelombang aksi protes sebagai tindakan makar atau terorisme. Organisasi HAM internasional itu menilai pendekatan tersebut “tidak bertanggung jawab” dan berisiko melegitimasi penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat dalam membubarkan massa. Kecaman HRW selaras dengan desakan Kantor HAM PBB (OHCHR), Amnesty International, dan lembaga HAM nasional untuk penyelidikan independen atas dugaan pelanggaran, termasuk kematian demonstran dan penangkapan massal.
Dalam pernyataan resminya pada 2 September 2025, HRW menegaskan aparat “bertindak tidak bertanggung jawab dengan menganggap protes sebagai tindakan makar atau terorisme,” seraya mengingatkan rekam jejak penggunaan kekuatan berlebihan terhadap demonstran. HRW mendesak kepolisian mematuhi standar PBB soal pembatasan penggunaan kekuatan “seminimal mungkin yang diperlukan.”
Kecaman senada dikutip berbagai media internasional. Reuters menulis pernyataan Meenakshi Ganguly, Wakil Direktur Asia HRW, yang menolak pelabelan makar/terorisme terhadap demonstran dan meminta penyelidikan atas dugaan pelanggaran aparat.
Konteks: Gelombang Protes dan Respons Keamanan
Sejak 25 Agustus 2025, protes merebak di banyak provinsi, dipicu kemarahan publik atas privilese dan tunjangan perumahan DPR saat beban ekonomi rakyat meningkat. Ketegangan melonjak setelah seorang kurir tewas terlindas kendaraan taktis polisi, disusul penangkapan massal dan bentrokan di sejumlah kota. The Guardian dan Reuters mencatat penyebaran aksi, korban jiwa, dan penggunaan gas air mata serta peluru karet di sekitar kampus-kampus.
Al Jazeera melaporkan penggunaan gas air mata di lingkungan perguruan tinggi di Bandung, sementara laporan lain menghimpun data penahanan dan hilangnya orang yang dilaporkan dalam kekacauan.
Pemerintah: Peringatan Soal “Gejala Makar & Terorisme”
Presiden Prabowo Subianto dalam keterangan pers menilai sebagian aksi “mengarah pada makar dan terorisme,” pernyataan yang ramai diberitakan media nasional dan internasional. Sejumlah media mengutip imbauan pemerintah agar aparat bertindak tegas untuk mencegah anarki.

PBB, Amnesty, dan Lembaga HAM Nasional Minta Penyelidikan
Kantor HAM PBB (OHCHR) menyerukan penahanan diri, dialog, dan penyelidikan transparan atas dugaan penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat. Di tingkat nasional, Komnas HAM dan Komnas Perempuan menilai kekerasan terhadap massa aksi melukai demokrasi dan meminta aparat menjunjung tinggi prinsip HAM saat mengamankan unjuk rasa.
Amnesty International—baik kantor global maupun Indonesia—menolak pelabelan makar/terorisme terhadap aksi protes warga, mendesak evaluasi kebijakan yang merugikan rakyat, pembebasan aktivis yang ditahan, serta penyelidikan atas kematian demonstran. Sikap ini juga disosialisasikan lewat unggahan di Instagram resmi Amnesty Indonesia.
Narasi “Makar/Terorisme” Diuji Standar Internasional
Pakar HAM menilai pelabelan makar/terorisme pada protes damai berpotensi mengkriminalisasi kebebasan berkumpul dan berekspresi. HRW lama mengingatkan risiko penggunaan hukum antiteror yang terlalu luas untuk membungkam kritik di berbagai negara; hal ini bertentangan dengan standar kebebasan sipil internasional.
Suasana Lapangan: Kampus Jadi Titik Panas, Tagar Solidaritas Menggema
Reuters dan Al Jazeera menggambarkan kampus-kampus—terutama di Bandung—sebagai titik panas setelah benturan antara aparat dan mahasiswa. Di media sosial, tagar solidaritas seperti #ResetIndonesia ramai digunakan sebagai ekspresi kemarahan publik terhadap ketimpangan dan kekerasan aparat.
-
HRW (Meenakshi Ganguly): “Aparat Indonesia bertindak tidak bertanggung jawab dengan menganggap protes sebagai tindakan makar atau terorisme.”
-
OHCHR: Mendesak penahanan diri, dialog, dan penyelidikan independen atas dugaan pelanggaran.
-
Amnesty International Indonesia (Usman Hamid): “Melabeli demonstrasi masyarakat sebagai makar/terorisme itu berlebihan; negara wajib merespons aspirasi rakyat, bukan membungkamnya.”
-
Korban & penangkapan: Laporan media menyebut korban tewas dan lebih dari seribu penangkapan di berbagai kota; sebagian pihak melaporkan orang hilang.
-
Taktik aparat: Penggunaan gas air mata & peluru karet di sekitar kampus, yang dikritik kelompok HAM sebagai berlebihan.
-
Respons pemerintah: Presiden menyoroti indikasi makar/terorisme; sebagian privilese DPR dikoreksi namun lontaran pelabelan dikritik luas.